Sabtu, 02 April 2016
"SENJA JATUH DI PAJAJARAN" jilid 3 Karya AAN MERDEKA
Jilid 03_______________________
Ketiga orang itu kemudian menuju gardu. Yang disebut garduh ini sebuah bangunan mirip
rumah tapi dengan ukuran amat kecil mungkin lebar dua depa dan panjang tiga depa saja.
Tidak memiliki dinding tertutup. Dan yang menandakan bahwa ini tempat menjaga
keamanan, karena di sampingnya terdapat kentongan, juga ada beberapa alat lainnya.
Mereka bertiga langsung duduk di bale-bale yang terdapat di gardu tersebut. Sambil duduk,
Ginggi meneliti beberapa alat yang disimpan di sudut bangunan kecil ini. Ada
tumbak(tombak), yaitu semacam tongkat kayu tapi ujungnya diberi logam yang amat runcing.
Benda ini jelas fungsinya untuk menusuk. Adacikrak , yaitu sebangsa brankar untuk
mengangkut orang pingsan atau celaka. Adacangkalak , seikat tambang terbuat dari bahan
bambu. Mungkin fungsinya untuk mengikat tahanan.
"Dan yang ini apa namanya, Ki?" tanya Ginggi meneliti sebuah alat lain. Sama seperti tombak
hanya ujungnya yang terbuat dari logam itu melengkung seperti bulan sabit atau tanduk
kerbau.
"Itu namanyacagak . Fungsinya untuk menangkap orang yang dicurigai. Supaya dia tak
melarikan diri dalam pengejaran, orang itu kita pepet ke dinding dengan cagak. Pasti tidak
akan lepas lagi sebab badannya terkurung lengkungan cagak ini," kata Ki Ogel, "Kita hanya
tinggal mengikat kaki dan tangannya saja dengan cangkalak ini," lanjutnya seraya
memperlihatkan tambang bambu itu. Ginggi mengangguk-angguk.
"Seringkah para tugur menangkap penjahat, Ki?"
"Tidak dikatakan sering. Sebab pada umumnya penjahat selalu menghindari bentrokan
dengan tugur. Kalau kitalengah mereka masuk. Tapi bila kita siaga, mereka tak ada," kata Ki
Ogel.
Ki Banen hanya batuk-batuk kecil saja sambil mengorek-ngorek kuping dengan jari
kelingkingnya.
"Tapi, ya begitulah, seperti apa yang dikatakan Rama tadi, yang namanya penjahat bukan
terbatas pada pencuri dan penyamun saja. Yang datang ke kampung ini dengan niat
mengacaukan, memang tidak sedikit," kata Ki Ogel setengah mengeluh.
"Heran. Kalau bukan pencuri atau penyamun, untuk apa mereka berbuat kejahatan mengacau
desa?" gumam Ginggi seperti bicara pada dirinya sendiri. Ki Ogel ikut menghela napas.
"Sekarang ini jaman kacau, anak muda. Musimnya orang berambisi untuk memperoleh
kesenangan, musimnya orang menganggap dirinya benar dan menuding orang lain salah serta
musimnya keserakahan dan kemunafikan merajai kehidupan. Ada orang yang merasa punya
kebenaran dan hal itu dipaksakan kepada orang lain agar menjadi kebenaran umum. Ada
orang yang merasa punya wibawa dan kewibawaan itu dipaksakan kepada orang lain agar
kebesaran tercipta pada dirinya. Dan yang menjadi korban kesemua ini adalah ambarahayat.
Banyak perintah, banyak pendapat dan mereka tak tahu, apa yang harus dilakukan
sebenarnya. Yang berani melakukan pilihan, akan punya risiko sebab menciptakan
pertentangan satu sama lainnya," kata Ki Banen dengan wajah kusam.
Ginggi menatap wajah Ki Banen. Orang tua ini tak gemar bicara. Tapi satu kali bersuara
menimbulkan renungan yang dalam baginya.
"Apa yang sedang kalian hadapi sebenarnya, sepertinya hidup ini benar-benar sesak dan
sempit buat kalian, Ki?" tanya Ginggi sambil membereskan rambutnya yang tergerai ke
pundak karena tanpa ikat kepala.
"Aneh sekali. Kau memang orang aneh, anak muda. Mengaku pengembara tapi tak tahu
keadaan dunia," Ki Ogel yang menjawab. "Sekarang ini zaman pertentangan pendapat.
Sesudah kehadiran agama baru, banyak orang bersilang pendapat mempertentangkan
kebenaran hakiki. Ada orang bertahan dengan kebenaran lama, ada orang berjuang
melebarkan sayap kebenaran baru. Akibatnya, orang yang tak tahu apa-apa menjadi terpecahpecah
dan ada juga yang sampai berkelahi. Anak melakukan permusuhan dengan ayah dan saudara kandung menjadi renggang. Itu semua konsekuensi dari kehadiran agama baru, anak
muda," tutur Ki Ogel.
"Aku tidak tahu apa itu agama. Tapi kalau ada orang yang mempertentangkan kebenaran,
kedengarannya lucu. Mengapa pula tadi Aki katakan ada kebenaran baru yang
dipertentangkan dengan kebenaran lama, seolah-olah kebenaran itu bisa berubah-ubah
mengikuti pergantian masa. Kalau ada orang bertindak tak adil kepada yang lain apakah akan
dinilai berbeda pada masa yang beda. Apakah orang-orang masa lalu, hari ini dan masa yang
akan datang akan menilai berlainan terhadap orang yang suka bohong, berkhianat dan kepada
orang yang gemar menganiaya?" kata Ginggi menatap saling bergantian kepada kedua orang
tua itu.
Giliran Ki Ogel dan Ki Banen yang menatap pemuda itu dengan penuh rasa heran.
"Omonganmu barusan hanya akan keluar dari mulut orang yang mengenal agama. Akan
tetapi, mengapa kau tadi bilang tak kenal agama, anak muda?" tanya Ki Banen mengerutkan
dahi. Dibalas oleh pemuda itu dengan sama-sama mengerutkan dahi.
"Walau tidak rajin benar, tapi Ki Dar… maksudku, orangtuaku kerap mengatakan hal ini
kepadaku. Tapi tak satu kali pun dia mengatakan bahwa itu agama," gumam Ginggi
merenung.
"Orang mengenal tata-nilai dan aturan hidup dan apalagi melaksanakannya, itulah orang
beragama, anak muda…!" kata Ki Ogel. "Adakah orangtuamu mengatakan tentang agama
yang dianutnya?" lanjut Ki Ogel lagi.
Pemuda itu termenung sejenak, lalu, "Setahuku dia tak bilang apa-apa. Kalaupun dia sering
memberikan petuah, apakah itu bagian dari agama, aku tak diberi tahu," katanya.
"Entah siapa orangtuamu. Tapi sikapnya aneh. Dan kesemuanya melahirkan perangai aneh
padamu, anak muda. Kau datang ke kampung ini tanpa basa-basi sopan-santun. Dan lantas
kami percaya serta memaklumimu setelah kau bilang tak kenal agama. Tapi sekarang, kau
bicara panjang lebar penuh filsafat. Aneh, benar-benar aneh!" kata Ki Banen.
"Sudah berapa kali kalian bilang soal sopan-santun. Aku tak tahu, sopan-santun itu apa, Ki ?"
tanya Ginggi, disambut gelak tawa kedua orang tua yang duduk bersila di hadapannya.
"Nah, sekarang kalian tertawa. Padahal tadi sore kalian berang padaku karena urusan sopansantun
itu!" omel Ginggi menampilkan mimik jengkel. Melihat kejengkelan pemuda ini, Ki
Ogel tertawa, juga Ki Banen dengan tawa tipisnya.
"Benar-benar kau orang aneh anak muda," kata Ki Ogel
"Walaupun baru sedikit-sedikit, engkau tahu akan sikap hidup yang benar, anak muda," kata
Ki Banen dengan suara rendah. "Tapi, memang kau benar-benar tak mengenal agama. Sebab
orang yang tahu akan agama akan tahu juga tradisi dalam menjaga nilai hidup. Orang yang
mengenal danmenjunjung agama, di antaranya sanggup memperlihatkan perilaku baik.
Berkata benar, mendengar benar, melihat benar,rengkuh (sopan dengan badan membungkuk)
terhadap orang yang lebih tua dengan tutur kata halus dan suara enak didengar," kata Ki
Banen.
"Lantas…?"
"Harus sanggup menjaga wibawa dan kehormatan baik diri sendiri maupun keluarga, juga
wibawa serta kehormatan raja dan kerajaan," Ki Ogel yang melanjutkan omongan.
"Nah, kalau sudah begitu, bereslah keadaan. Tetapi, mengapa kalian tadi membingungkan
hidup yang tengah berlangsung hari ini?" Ginggi menyerang dengan pertanyaan baru. Ki Ogel
dan Ki Banen menundukkan kepala dan menghela nafas. "Itulah masalahnya, anak muda…"
keluh Ki Banen. Kedua orang ini saling tatap dengan sorot lesu. Menundukkan kepala dan
menghela nafas lagi.
Diam membisu.
Suara binatang malam mulai terdengar. Ada suara cengkerik menggerit-gerit pilu, ada suara
burung malammenghardik-hardik lesu dan di kejauhan sayup-sayup burungloklok
danbungaok kian menambah sepinya malam. Padahal bulan di langit benderang. Ginggi
menghitung, ini hari ke duabelas di perjalanan bulan ke enam tahun Saka. Dan melihat bulan
benderang, pemuda ini jadi ingat Ki Darma. Barangkali di puncak Cakrabuana Ki Darma
masih sendirian. Kalau tak "diusir" pergi, seharusnya dia mengajak Ki Darma menikmati
burung walik bakar yang diburu tadi pagi.
"Sudah kukatakan sejak tadi, ini zamannya orang berebut pengaruh. Sekarang di bumi Jawa
Kulon, Pajajaran tidak sendirian. Di sebelah barat ada Kerajaan Banten dan di timur Kerajaan
Cirebon. Kedua negara baru itu mengatur sendi negara dengan dasar agama baru. Mereka
tengah berjuang untuk memperkenalkan dan melebarkan pengaruhnyakemana-mana. Jadi,
termasuk pula ke wilayah Pajajaran," kata Ki Banen.
Ki Ogel menambahkan, "Kini pengaruh agama baru semakin meluas. Kerajaan Talaga dan
Kerajaan Sumedanglarang yang dulu benar-benar taat kepada Pajajaran karena disana
merupakan pusat-pusat agama lama, sudah lama terpengaruhi keyakinan agama baru walau
sebagian masih setia dengan agama lama. Namun akibatnya, timbul perpecahan.
AdaKandagalante (setingkat wedana di zaman kini-pen) yang diam-diam mempertahankan
keyakinan lama, ada juga yang terang-terangan masuk kepada keyakinan baru. Di dalam
lingkungan kandalante sendiri sebetulnya sudah terpecah-pecah. Beberapa desa masih mau
mempertahankan keyakinan lama, tapi beberapa diantaranya melepaskan begitu saja," kata Ki
Ogel panjang lebar.
Ruwet sekali keadaan, pikir Ginggi di saat mendengar penjelasan ini.
"Kampung ini sendiri, masuk ke dalam keyakinan mana, Ki?" tanyanya.
"Disini pun sebenarnya sudah ada macam-macam gagasan. Tapi Rama Dongdo tidak bersifat
memaksakan sesuatu. Beliau tetap patuh kepada amanat Kangjeng Prabu Sri Baduga
Maharaja, penguasa Pajajaran puluhan tahun silam. Dulu Sang Prabu bersabda, tidak akan
melarangambarahayat mengambil satu keyakinan agama. Yang beliau larang bila
sembarangan memilih sambil tak jelas apa yang dipilih. Tak apalah ambarahayat memilih
agama yang bermanfaat bagi kesentausaan negara, asalkan jangan untuk berkhianat dan
membodohi, bukan untuk memupuk kekayaan dan kesenangan pribadi. Tak apalah mengganti keyakinan dengan yang baru asalkan untuk menolong sesama yang membutuhkan dan
membantu orang lain tanpa pamrih apa pun," kata Ki Banen.
"Namun kebijaksanaan Kangjeng PrabuSuargi (yang sudah meninggal) tidak dimengerti
benar oleh semua lapisan ambarahayat. Banyak orang bertahan karena agama lama atau
berjuang karena agama baru hanya dipertalikan dengan kepentingan politik," kata Ki Ogel.
"Aku tak mengerti, Ki !" kata Ginggi mulai menguap karena malam semakin menjelang.
"Kalau kau pandai mengamati perjalanan waktu beserta isi kehidupan ini, kau akan tahu,"
kata Ki Banen turun dari bale-bale. Dia mendekati kentongan. Diambilnya alat pemukulnya
yang diselipkan di sela-sela lubang kentongan dan segera dipukulkannya ke tubuh benda yang
terbuat dari kayu nangka ini. Trong-trong-trong-trong-trong! Beraturan dan enak didengar.
"Matamu kuyu dan tengkukmu kian melengkung. Lehermu pun tampak seperti leher kurakura.
Itu tanda kau ngantuk dan kecapaian. Ayo, tidurlah kau tak perlu cari-cari jasa ikut jaga
!" kata Ki Ogel.
Ginggi tersipu. Padahal tadinya janji mau ikut tugur atau meronda. Tapi, memang baru
sekarang dia rasakan, betapa lelahnya sebetulnya dia. Sejak pagi hari menuruni bukit dan
lembah serta keluar masuk hutan, tidak sebentar pun dia istirahat. Makan dendeng menjangan
pun, bekal dari Ki Darma, dilakukannya sambil berjalan menyusuri hutan.
Ginggi berbenah diri. Buntalan kainnya yang berisi satu dua stel pakaian sederhana dia
gunakan sebagai bantal. Ginggi berbaring, telentang sebentar. Kelopak matanya dikatupkan.
Tapi di kelopak matanya itu malah terbayang gadis mungil yang membawa baki dan
menyodorkan penganan.
Siapakah dia, pikir pemuda itu. Namun hatinya tak sempat berbincang-bincang lagi sebab
matanya sudah pedih terkatup rapat. Pemuda itu terlena.
Hanya saja, entah berapa lama ia tertidur. Sebab secara mendadak dia dikejutkan oleh sebuah
pertanyaan yang diajukan cukup keras.
"Siapa dia ?" kata si suara keras.
"Dia pengembara kemalaman, Ki Kuwu. Numpang tidur!" Ki Ogel menjawab hormat.
"Di saat suasana genting seperti ini kau jangan sembarangan menerima pendatang. Kenapa
pula tidak dilaporkan padaku ?" kata orang yang dipanggil Ki Kuwu.
Diam sejenak.
"Bangunkan dia !" kata Ki Kuwu lagi dengan nada jengkel.
"Jang, bangun, Jang !" Ki Ogel menggerak-gerakkan tubuh Ginggi yang sebenarnya sudah
sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
Pemuda itu pura-pura menggeliat, menguap dan menggisik-gisik kedua matanya. Lalu dia
memutar wajah ke segala arah"Hei, bangun orang asing !" kata Ki Kuwu.
Ginggi menggisik kembali kedua belah matanya sebelum benar-benar menatap orang yang
berdiri bertolak pinggang di sisi bale-bale.
Ketika pemuda itu meneliti, ternyata yang disebut Ki Kuwu adalah seorang lelaki setengah
baya berpakaian kampret hitam, bercelana komprang putih dan ada kain sarung tersandang di
bahunya. Dia memakai terompah kulit dan banyak hiasan cincin batu di hampir semua jari
tangannya, kanan dan kiri. Ikat kepalanya juga hitam, sedikit totol-totol coklat muda. Tapi
yang lebih menarik perhatian pemuda itu, Ki Kuwu ini matanya mencorong tajam karena bola
matanya nampak besar menonjol. Hidungnya juga besar agak pesek, dengan hiasan kumis
tebal hitam melengkung seperti tanduk kerbau.
"Beri hormat kepada Ki Kuwu Suntara, anak muda," kata Ki Banen setengah
memperingatkan.
Ginggi sudah punya pengalaman. Bila berlaku seenaknya maka orang yang dibawa bicara
akan tersinggung. Maka untuk tidak membuat kemarahan orang, Ginggi mengikuti tata cara
seperti apa yang mereka inginkan. Melihat Ki Ogel dan Ki Banen berdiri setengah
membungkuk sambil sepasang tangan bersilang di bawah pusar, pemuda itu pun ikut berdiri
dan berlaku seperti mereka. Membungkuk setengah menunduk dan kedua tangan bersilang di
bawah pusar.
"Siapa namamu, dari mana asalmu dan apa keperluanmu datang ke sini !" Ki Kuwu Suntara
mengajukan pertanyaan beruntun.
"Aku kemalaman dan numpang tidur disini. Aku pengembara, hendak mencari kerja. Tadinya
minta kerja jadi tugur di sini, Ki Kuwu," kata Ginggi menjawab berpanjang-panjang padahal
untuk menyembunyikan beberapa jawaban yang tak mungkin diucapkannya.
"Hahaha !" Ki Kuwu tertawa ngakak sambil melinting ujung kumis kiri dan kanan. "Tugur
bukan pekerjaan yang mesti diberi imbalan, sebab merupakan kewajibandasa (pemenuhan
pajak tenaga). Dasar anak dungu !" ejek Ki Kuwu Suntara.
"Oh, aku baru tahu bahwa tugur itu suatu kewajiban," gumam Ginggi.
"Nah, memang begitu. Tapi kalau kau hanya pengembara dan berniat mencari sesuap nasi,
kau boleh memilih pekerjaan di kampung ini. Aku banyak membutuhkan tenaga muda
sepertimu ini," kata Ki Kuwu sambil matanya meneliti bentuk tubuh Ginggi yangsembada (
kekar) dan sedikit berotot keras.
"Ogel, teliti latar belakang anak muda ini. Kalau memenuhi syarat kau boleh ajak dia
bekerja," kata Ki Kuwu Suntara sambil hendak berlalu. "Eh, mana tugur yang dua orang lagi
?" katanya lagi meneliti isi garduh.
"Sedang berkeliling, Ki Kuwu," kata Ki Ogel
"Bagus!"
Dan Ki Kuwu berlalu dengan tangan berlenggang gagah. Di keremangan cahaya obor,
sesekali tangan kanannya mengapit ujung kain sarung, sesekali tanganna digunakan memuril
ujung kumisnya.
"Itulah Ki Kuwu Suntara, anak muda…" Ki Banen berkata sedikit mengeluh.
"Diakah pemimpin di desa ini ?" tanya Ginggi.
"Benar. Tapi terkadang sering berbeda pendapat dengan orang yang dituakan, yaitu Rama
Dongdo," kata Ki Banen lagi. Ginggi menoleh, minta penjelasan lebih jauh.
"Ya, sudah aku katakan tadi, kemelut urusan kenegaraan juga jatuh mengalir mempengaruhi
orang-orang di bawah," Ki Ogel yang menjawab. "Kemelut karena kehadiran agama baru,
juga terasa disini. Rama Dongdo tetap setia dengan agama lama. Tapi beliau tidak melarang
rakyat di desa untuk memilih agama apa saja, termasuk yang baru. Sebaliknya Ki Kuwu
Suntara minta ketegasan kita, apakah mau ikut ke mana, sebab kalau ragu-ragu seperti Rama,
diperkirakan rakyat pun jadi ragu-ragu dan akhirnya terjadi perpecahan."
" Ki Kuwu sendiri memilih yang mana?" tanya Ginggi.
"Kami juga tak jelas, dia memilih apa. Sekali waktu dia mengatakan, karena kita hidup di
bawah Kerajaan Talaga yang sudah ikutke Cirebon, sebaiknya desa ini pun ikut ke Ratu
Talaga saja. Ki Kuwu mencerca Kangjeng Prabu Ratu Sakti yang dianggapnya sudah tak
menjadi pemimpin negara yang baik karena menarik pajak tinggi dan suka bertindak keras
terhadap rakyat. Anehnya kendati dia seperti memihakCirebon, tapi tetap memerintahkan
rakyat di desa ini untuk mengumpulkan barang-barangseba (pajak hasil bumi tahunan) yang
akan dikirimkan ke Pakuan. Ini aneh. Dan kami hanya menduga, Ki Kuwu Suntara
sebenarnya masih menyegani Pakuan dan tak berani menahan seba yang diminta Pakuan,"
kata Ki Banen.
"Benar. Aku kira juga demikian kemungkinannya," gumam Ki Ogel.
"Kalau begitu aku baru mengerti. Banyakcarangka dandongdang (alat pengangkut barang
hasil bumi) bertebaran di pekarangan Rama untuk kepentingan seba. Ya, kan?" kata Ginggi.
Ki Ogel dan Ki Banen mengangguk.
"Sekarang masa panen di ladang dan huma. Seba ke Pakuan juga dilakukan setahun sekali
saat panen tiba. Barang-barang itu memang tengah dihimpun untuk kemudian menjadi iringiringan
seba ke ibukota," kata Ki Ogel.
"Tentu jauh dan amat jauh sekali. Kalau kami harus langsung mengirimkannya kesana
barangkali akan mati kelelahan. Kami hanya mengirim seba sampai ke sebuah tempat selepas
Sumedanglarang saja. Dari sana ada yang melanjutkan lagi, sesudah semua desa yang masih
setia kepada Pakuan sama-sama mengumpulkan seba," kata Ki Banen. Menurut kedua orang
ini, jauh sebelum Kerajaan Talaga berpihak ke Cirebon, seba tahunan untuk Pakuan
dihimpun di Talaga. Artinya, yang mengirim seba ke Pakuan dibebankan kepada kerajaan
kecil yang ada di bawah Pajajaran. Sekarang sesudah ada perpecahan, bisa saja kerajaan
menghentikan seba ke Pakuan, akan tetapi satu dua desa di bawah kerajaan tersebut masih . setia mengirimkannya secara pribadi, atau bergabung dengan daerah lain yang masih samasama
punya rasa setia," kata Ki Ogel lagi.
"Salah-satu diantaranya, adalah desa kami inilah," kata Ki Banen menyela.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar kentongan dipukul berirama. Kata Ki Ogel, mereka
adalah dua tugur atau ronda yang tengah tugas berkeliling. Ginggi belum bertemu dengan dua
tugur ini, sebab mereka baru hadir di saat Ginggi sudah tidur. Sewaktu pemuda ini terhenyak
dibangunkan Ki Kuwu Suntara, dua tugur itu tengah keliling kampung.
Sekarang suara irama kentongan lebih jelas kedengaran, tanda kedua orang tugur datang
mendekat. Dan ketika irama tabuhan itu kian keras, remang-remang di arah sana nampak dua
orang mendekat. Tiba di pekarangan gardu wajah-wajah mereka nampak jelas kelihatan. Itu
sesudah keduanya membuka kain sarung yang sejak tadi dikerudungkan ke wajah dan kepala
mereka untuk menahan serangan angin malam.
Cahaya bulan yang sudah mulai bergeser ke barat disertai goyangan cahaya api obor di tangan
seorang tugur menyebabkan Ginggi bisa mengenali wajah keduanya satu persatu.
Dua-duanya ternyata masih amat muda. Mungkin usianya hanya berbeda satu atau dua tahun
di atas usia Ginggi. Yang membawa kentongan kulitnya agak kehitaman, giginya tonghor,
menjorok ke depan. Ada kumis tipis berbulu jarang dan di dagunya berjuntai rambut jarang
menyerupai jenggot. Si pembawa cahaya obor nampak sedikit lebih tampan, kendati ada
kesan angkuh lantaran bibirnya selalu nampak mencibir bagaikan orang mencemooh. Ketika
melihat Ginggi duduk mendekap lutut, si pembawa kentongan berkata, "Bagaimana, apa
sudah diperiksa dengan baik anak pendatang itu, Ki Ogel ?" tanyanya. Mereka kini hanya
berjarak satu sikut saja dengan Ginggi yang masih memeluk lutut karena dinginnya malam.
"Aku yang melapor kepada Ki Kuwu akan kehadiran orang asing ini," kata pemuda tampan
pembawa obor tanpa memandang kepada Ginggi.
"Bagaimana menurut perkiraan Ki Kuwu, orang jahatkah dia itu?" Si Tampan menunjuk
wajah Ginggi dengan obor, sehingga Ginggi mendongakkan kepalanya ke belakang karena
ujung obor beserta cahaya apinya hanya tinggal sejengkal ke wajahnya.
"Tidak mencurigai anak ini sejauh itu sebab Ki Ogel mengabarkan sewajarnya berdasarkan
penglihatan dan penilaiannya," kata Ki Banen.
"Apa yang Ki Ogel katakan kepada Ki Kuwu. Ki ?" tanya Si Angkuh lagi.
"Aku katakan bahwa anak muda ini kecuali lugu dan sedikit bodoh, tidak membahayakan kita
semua. Dia datang entah dari mana. Kemalaman di sini dan punya tujuan mengembara, atau
bekerja apa saja kalau bisa," kata Ki Ogel. Melirik ke arah Ginggi yang masih kalem-kalem
saja memeluk lututnya.
"Tidak jahat tapi bodoh, ya! Huh!" dengus Si Tampan angkuh.
"Ya. Tapi Ki Kuwu sudah mengizinkan anak muda ini ikut kerja di sini," kata Ki Ogel.
"Pekerjaan apa yang bisa diberikan kepada orang macam dia ?" giliran pemuda hitam bergigi
tonghor yang bicara.
"Tentu bukan jenis pekerjaan yang memeras jalan pikiran," kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya tertawa masam mendengar obrolan ini. Sebaliknya Ginggi acuh tak acuh saja.
Secuil pun dia tak menyimak obrolan mereka. Mengapa harus menyimaknya, pikirnya. Tokh
mereka pun, terutama kedua pemuda tugur itu, dalam memperbincangkan dirinya tidak sedikit
pun memandang padanya, apalagi langsung mengajaknya bicara.
Ginggi terpaksa mepet ke sudut ketika kedua pemuda itu akan ikut duduk di bale-bale. Ginggi
memang mesti mengalah pergi, sebab dia hanya ikut numpang saja dan jangan sampai
kehadirannya mengganggu kenyamanan para petugas jaga saat beristirahat melepas lelah.
Keempat orang tugur duduk bersila saling berhadapan di tengah bale-bale, saling bertutur
sapa dan mengobrol. Kedengarannya mereka tengah memperbincangkan suatu persiapan.
"Jadi, tiga hari sesudah pesta panen, kita baru beranjak pergi mengirim seba, Madi ?" tanya Ki
Ogel.
"Betul, Ki. Sayang, pesta panen hanya dilakukan satu malam saja…" gumam pemuda tonghor
yang ternyata namanya Madi.
"Dulu, dulu sekali, pesta panen dilakukan seminggu berturut-turut. Semua jenis kesenian
ditampilkan mulairengkong hinggadogdog lojor , mulai seni dalang hingga tembang-carita
Aki Pantun. Bahkan sanggup mengundang rombonganrenggonggunung dari tatar Galuh. Para
anak gadis yang molek-molek, bukan saja keluar dari rumah-rumah seputar kampung kita,
tapi juga datang dari luar kampung. Mereka datang berombongan, bersama kakak laki-laki
mereka, atau pun bersama kedua orangtuanya. Mereka menghadiri pasar malam dan saling
menukarkan barang berdasarkan keperluannya masing -masing. Yang sudah memiliki uang
logam dari Negri Campa, Cina, Keling, Parasi, atau dari Pasai dan Siem, mereka pergunakan
untuk ditukar dengan barang keperluan lebih berharga lagi," tutur Ki Ogel mengenang masa
lampau yang penuh kebesaran.
"Sekarang bagaimana ?" tanya Si Tonghor.
"Sekarang, tidak semarak seperti dulu. Pesta panen tahun lalu hanya dilakukan dua hari saja.
Tahun ini malah satu hari. Tak ada pasar malam, kecuali menggelar pantun, mencoba
mengenang masa lalu. Tahun lalu banyak saudagar dari wilayah kandagalante menawarkan
kain tipis buatan Campa. Tapi benda berharga seperti itu hanya bisa ditukar dengan uang
logam asing, sebab tak mampu bila harus diseimbangkan dengan sepuluh kati kapas atau
sepuluh dongdang padi. Penduduk sudah tak punya kekayaan lebih," kata Ki Ogel lagi.
"Aneh, padahal ladang tak berkurang dan huma pun selebar lautan. Mengapa penduduk tak
sanggup memiliki kekayaan berlebih, Ki?" pemuda tampan yang nampak angkuh di mata
Ginggi mulai membuka suara.
"Itulah karena berubahnya zaman, anak muda…" kata Ki Banen yang mulai bersuara pula.
"Perubahan apa yang menyebabkan orang tak punya kekayaan berlebih, Ki?" tanya lagi si
tampan angkuh.
"Kalau aku yang berbicara nanti terpeleset lidah. Mendingan tak menjadi salah pengertian
yang mendengar. Bila tidak , hanya akan membahayakan diri sendiri. Sebaiknya kau pelajari
sendiri Seta, simak sendiri dan saksikan sendiri. Apa yang kau nilai sendiri, itulah kebenaran,
paling tidak bagi keyakinanmu secara pribadi , Seta," kata Ki Banen.
Ginggi baru tahu kalau Si Tampan angkuh ini Seta namanya.
***
Suasana terasa hening ketika kokok ayam mulai berbunyi. Hampir semua orang secara
bersahutan menguap panjang. Ki Ogel merebahkan dirinya di bale-bale berbantalkan kedua
belah tangannya, begitu pula Ki Banen, kendati hanya tidur ayam dengan jidat menempel di
atas lutut. Madi masih membunyikan kentongan tapi makin lama makin pelan dan lambat,
sampai akhirnya berhenti sama sekali. Ginggi bahkan sejak dari tadi tidur meringkuk di sudut.
Pertikaian di Pancuran
Pagi-pagi sekali Ginggi sudah dibangunkan oleh Ki Ogel. Orang tua ini mengatakan padanya
agar bila ingin mandi bisa pergi menuju pancuran.
"Pancuran umum terletak di luarlawang kori (pintu gerbang desa). Tapi bertepatan dengan
cahaya merah jingga di ufuk timur, pintu lawang kori sudah dibuka petugas," kata Ki Ogel.
Antara sadar dan tidak karena kantuk masih juga menyerangnya, Ginggi mencoba mengucakngucak
kedua belah matanya. Dia pun segera menggoyang-goyangkan kepalanya mencoba
mengusir rasa kantuknya itu. Ginggi memang harus bangun pagi untuk membuat langkah
perjalanan selanjutnya. Mana yang lebih penting, melanjutkan perjalanan atau mencoba
mencari pekerjaan di desa ini. Nampaknya memang ada tawaran kerja di sini. Tapi tawaran
kerja apa, dia tak tahu.
"Biar nanti kuputuskan seusai mandi saja," gumamnya sendirian.
Di gardu tinggal dia sendirian sebab Ki Ogel entah sudah pergi kemana, begitu pun Ki Banen.
Perkara kedua pemuda bernama Madi dan Seta yang tak dia senangi, Ginggi tak perlu
mengingatnya. Tak kutemui lagi pun tak mengapa, pikirnya.
Ginggi menjinjing buntalan kainnya menuju lawang kori untuk keluar kampung, sebab
menurut Ki Ogel, pancuran tempat mandi ada di luar benteng kampung.
Pintu lawang kori sudah terbuka lebar namun tak ada penjaga disana. Sebagai tanda, pada
siang hari penduduk tak merisaukan akan adanya gangguan yang tak diharapkan.
Ginggi melangkah ke luar kampung. Beberapa ratus langkah mengikuti jalan utama, dia sudah
menemukan jalan setapakke kiri, menurun dan membelok. Ginggi mengikuti arah ini, sebab
sayup-sayup dia mendengar suara air pancuran.
Benar saja, di sana ada pancuran. Airnya bening keluar dari sebuah mata air di bukit terjal.
Mengucur turun melalui sela-sela batu cadas dan kemudian ditampung saluran bambu. Air
pancuran itu jatuh terus-menerus membentuk sungai kecil berbatu. Banyak hamparan batu
kecil rata mengkilap, mungkin selalu digunakan orang mencuci kain.
Karena di situ masih sunyi, maka dengan leluasa Ginggi menanggalkan seluruh pakaiannya.
Baju kampret warna nilanya dibuka, begitu pun celana sontognya. Dan brus, begitu saja dia
membiarkan seluruh badannya diguyur air pancuran yang dingin menusuk tulang sumsum.
Sampai pada suatu saat terdengar jeritan tertahan dari arah jalan setapak. Ginggi menoleh dan
amat terkejut, sebab jeritan itu keluar dari mulut seorang gadis. Gadis itu menutup mulutnya,
membalikkan badan dan berlindung di balik rimbunan pohon.
"Nanti dulu, aku masih telanjang bulat!" seru Ginggi mempercepat mandinya.
"Saya sembunyi di sini, tidak lihat engkau!" terdengar jawaban dari balik pohon. "Tapi kau
salah. Seharusnya tidak mandi di pancuran ini. Ini tempat mandi dan cuci kaum wanita!" seru
suara di balik rimbunan pohon itu.
"Kau gadis yang tadi malam menyodorkan penganan di rumah Rama Dongdo, bukan?"
"Betul! Beliau kakekku!" jawab dari balik rimbun pohon lagi.
"Mengapa tak mengobrol denganku?"
"Ih, tak sopan benar, seorang gadis mengajak berbincang kepada orang yang baru
dikenalnya!"
"Sekarang kan bisa?"
"Ih, cepatlah, ketahuan orang lain, kau nanti dimarahi!" kata suara di balik rimbunan pohon
itu. "Laki-laki tak boleh sembarangan dekat-dekat pancuran ini!" katanya pula masih
sembunyi.
"Ini, aku sudah jauh dari pancuran!" kata Ginggi yang sudah berdiri di dekat gadis itu. Gadis
berkain dan berkebaya hitam dengan rambut terurai sebatas pinggul ini terkejut manakala
membalikkan badan sudah melihat seorang pemuda berikat kepala dan berpakaian kampret
dengan rapih.
"Kapan kau selesai mandi? Tak kudengar gerakanmu," katanya menatap wajah pemuda itu
selintas, namun bisa meneliti hidung pemuda itu yang sedikit mancung, bola mata bundar dan
dagu sedikit terbelah dua ini. Sebaliknya Ginggi pun terpesona melihat lesung pipit di pipi kiri
gadis itu. Hidungnya kecil mancung serta bibir tipis sedikit merah, dengan sudut-sudut mata
yang tajam dengan mata yang hitam legam. Ginggi pun terpesona melihat ke celah di bagian
dada, ada kulit kulit kuning langsat agak montok menonjol dan menantang selera kaum lelaki.
Gadis itu rupanya tahu apa yang diperhatikan pemuda itu, dan serta merta melindungi bagian
yang jadi incaran mata penatapnya.
Kini giliran Ginggi yang tersipu-sipu. Pipi dan telinganya terasa panas manakala dia menduga
bahwa apa yang dia lakukan dengan matanya diketahui dan dirasakan gadis itu.
Plakk! Pemuda itu menempeleng pipinya sendiri dan membuat bengong gadis itu.
"Apa yang kau lakukan, Kang?" tanya gadis itu heran.
"Ada … ada nyamuk di pipiku!" kata pemuda itu gagap. Sang gadis yang kini diketahui
menjinjing cucian di sebuah ember kayu terkekeh lucu mendengarnya.
"Kok, urusan nyamuk saja ditertawakan?" kata Ginggi heran.
"Lucu, baru kali ini di kampungku banyak nyamuk pada pagi hari …" kata gadis itu terkekeh
lagi. Tangannya yang putih lentik itu digunakannya menutup renyah tawanya.
Ginggi tersenyum. "Memang tak ada nyamuk, sih…" katanya menggaruk belakang kepala.
"Mari, aku bawakan jinjinganmu, nampaknya berat," kata pemuda itu menawarkan jasa.
"Sudah biasa aku bawa jinjingan macam begini saban pagi," kata gadis itu sebagai tanda
menolak tawaran pemuda itu.
"Ini karena sekalian saja. Aku juga mau mencuci pakaian kotor !" kata Ginggi sedikit
memaksa.
"Ih, sudah aku katakan, lelaki tidak di sini! Ayo, sini saja cucianmu, aku yang bersihkan!"
kata gadis itu, langsung mengambil pakaian kotor yang tengah digapit Ginggi.
Pemuda itu mandah saja pakaian kotornya diambil gadis itu. Bahkan di hatinya ada perasaan
senang gadis itu mau melakukan untuknya.
"Aku tunggu di sana, ya?" kata Ginggi.
"Ah, sudahlah. Di rumah ada ubi rebus, sengaja aku buatkan. Lagi pula, kakek ingin bertemu
kau," kata gadis dengan rambut halus menghiasi jidatnya ini sambil berlalu menuruni anak
tangga batu. Ginggi menyimak langkah kaki gadis itu, sampai hilang di kelokan.
Ginggi menghela nafas, entah karena apa. Tapi dia lupa akan ucapan gadis itu bahwa dia
ditunggu Rama Dongdo. Dia malah memilih batu sebagai tempat duduk di pinggir jalan itu.
Duduk termenung namun dengan hati ringan dan senang. Apalagi ketika didengarnya sang
gadis mempermainkan air pancuran karena sedang membersihkan badan. Pemuda itu
membayangkan, betapa Si Gadis tengah menyibakkan dan menguraikan rambutnya yang
hitam legam agar diguyur airdingin dan jernih itu. Dia pun membayangkan, betapa kulit
wajah yang putih halus itu ikut diguyur, juga pundaknya yang sedikit berbulu tipis-tipis, juga
betisnya, juga dadanya yang montok. Dan, ah, semuanya diguyur air pancuran itu. Beruntung
benar sang pancuran, dia bisa bebas dan semena-mena menyaksikan tubuh mulus tanpa
busana itu. Berbahagia sekali sang air gunung, dia dengan bebas dan semena-mena mengeluselus
semua lekuk dan bagian tubuh mungil itu. Sialan benar! Pasti tak ada yang terlewat,
semua lekuk dan relung dirambahnya oleh air keparat itu!
Tuk! Ginggi mengetuk ubun-ubunnya sendiri. Benar kata Ki Darma tempo hari, kalau tak ada
kendali, lari kuda bisa kemana saja. Tidak pula untuk jalan pikiran manusia.
Dan ingat ini, Ginggi segera berdiri. Dia akan mengunjungi Rama Dongdo seperti apa yang
dipesankan gadis itu. Dia melongok sebentar ke arah jalan setapak yang menurun dan
berkelok itu sebelum meninggalkannya.
Namun baru saja akan membalikkan badan untuk berlalu, "tuk!", kepala bagian belakangnya
terasa ada yang memukul.
Ginggi menoleh ke belakang. Bukan karena sakit tapi karena terkejutnya. Rasanya, sudah dari
tadi dia menggetok kepalanya sendiri, mengapa sekarang terasa ada getokan lagi.
"Kau mencuri lihat orang mandi, ya?" kata seseorang mengamangkan alat pikul. Ternyata
yang datang adalah Madi, pemuda jangkung hitam bergigi tonghor itu. Dia pasti telah
menggetok kepala Ginggi dengan ujung pikulan.
"Siapa bilang aku mengintip orang mandi?" kata Ginggi menolak tuduhan.
"Pasti mengintip. Kalau tak begitu, masa engkau diam di sini. Di bawah kan pancuran tempat
orang mandi?" kata si tonghor dengan pikulan siap dipukulkan lagi.
"Aku tak mengintip orang mandi. Aku bahkan baru saja mandi," kata Ginggi lagi. Mendengar
perkataan ini, sitonghor membelalakkan mata. Melihat ke jalan setapak arah pancuran, lantas
berpaling kembali ke wajah Ginggi.
"Kau maksudkan mandi di pancuran ini?"
Ginggi menganggukkan kepala.
"Sialan kau! Tidak tahukah bahwa ini pancuran untuk kaum wanita?" bentak si tonghor
berteriak. Mulutnya terbuka lebar dan gigi tonghornya kian kentara. Kuning, kehitaman dan
jarang-jarang.
"Ah, biar saja!" kata Ginggi mencoba berpura-pura tak acuh akan kemarahan si tonghor.
Merasa diabaikan, pemuda kurus jangkung dan hitam ini segera mengayunkan pikulan yang
kini digunakan sebagai pentungan.
Sudah barang tentu, Ginggi tak rela ubun-ubunnya begitu saja menerima pentungan, apalagi
ini dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tetapi pemuda ini pun tak mau membuat orang
mencurigai bahwa dia memiliki ilmu berkelahi. Ginggi menutup wajah rapat-rapat dengan
kedua belah telapak tangannya dan berteriak minta tolong. Namun sambil meringis dia
menunduk dan mundur setindak. Hanya terdengar ujung pikulan bersiut lewat beberapa
sentimeter saja tapi ubun-ubun pemuda itu lolos dari serangan.
Ginggi lari kesana-kemari sambil teriak minta tolong, dikejar pemuda tonghor dengan
beringas.
Sementara semakin matahari bersinar, semakin banyak orang menuju pancuran, laki-laki dan
perempuan. Mereka heran sepagi ini ada orang teriak-teriak ketakutan. Beberapa orang
berlarian mendatangi tempat kejadian dan mendapatkan dua anak muda saling berkejaran.
Yang satu minta tolong satunya lagi melayangkan pikulan ke kiri dan ke kanan.
Seorang pemuda yang jauh lebih awal tiba di sana men coba menghentikan aksi kejarmengejar.
"Madi, mengapa engkau hendak menganiaya pemuda itu?" tanyanya, sambil menahan gerak
Madi.
"Dia brengsek! Dia kurang ajar, Seta!"
"Brengsek dan kurang ajar karena apa, Madi?" tanya Seta sambil mendelik kepada Ginggi.
"Dia mandi di pancuran wanita. Ketika aku peringatkan, malah bilang biar saja. Begitu kan
kau bilang tadi?"
"Apa tadi perkataanku kau dengar lain?" Ginggi ringan saja menjawabnya.
"Tuh, kurang ajar, kan? "
"Kurang ajar bagaimana," Ginggi memotong. "Kubilang biar saja karena tadi hari masih pagi
dan tak ada wanita mandi di sana," katanya. Tapi berbareng dengan itu, dari jalan setapak arah
pancuran, muncul gadis rambut tergerai sebatas pinggul sambil menjinjing ember kayu
dengan setumpuk cucian.
Gadis berlesung pipit ini hanya mengenakan kain hitam sebatas dadanya dan membuat
seluruh lekuk-relung tubuhnya tercetak erat dan ketat, membikin ketiga pemuda itu terpana
dan melongo. Si gadis yang melangkah cepat karena mendengar ribut-ribut, segera menutupi
bagian dadanya dengan tangan kiri setelah tahu bahwa ketiga pemuda itu matanya seragam
menyorot ke arah bagian badan yang barusan dia tutupi.
Semuanya tersipu-sipu malu karena kelakuannya ini. Tapi rasa malu Seta berubah menjadi
kemarahan. Dia cepat menghambur ke arah Ginggi, dan plak-plak-plak! Tiga tamparan
mendarat di pipi Ginggi.
Gadis itu menjerit kecil karena peristiwa ini.
"Hai, mengapa kau tampar wajahku?" Ginggi lebih merasa heran ketimbang sakit melihat
Seta menamparnya beberapa kali.
"Kau kurang ajar menatap wanita lewat!" bentak Seta.
"Kalau begitu, tamparlah juga wajahmu tiga kali, malah empat kali buat temanmu itu, sebab
dia menatap gadis itu sambil menelan air liurnya!" kata Ginggi senyum. Tapi omongan ini
kian menyulut kemarahan Seta. Dibantu Madi ia kembali menghambur menerjang Ginggi.
Para wanita yang menyaksikan pertengkaran ini menjerit-jerit ngeri karena baik Madi atau
pun Seta dengan garangnya mengayunkan pikulan untuk mencecar kepala Ginggi. Yang diserang malah hanya berteriak-teriak minta tolong sambil meringis dan menutupi wajahnya.
Ketika ayunan alat pemikul yang dipegang Seta hendak menyabet tengkuk, kaki Ginggi
tersandung akar dan jatuh terjerembab. Namun akibatnya, sabetan ke arah tengkuk menjadi
lolos. Ketika pikulan Madi hendak mencecar pinggulnya, Ginggi bangun dengan cara
berguling dulu ke kiri. Santai saja dia melakukannya, namun gerakan menggulir badan
dilakukan dengan pas, sehingga serangan alat pikul hanya menggebuk permukaan tanah.
Sambil menepuk-nepuk celana kampretnya karena kena debu, Ginggi berdiri dan secuil pun
tidak melirik ke arah penyerangnya yang mulai mengepung dirinya. Kedua orang itu
mengelilinginya sambil memutar-mutar alat pikul. Madi ada di belakang dan Seta ada di
depannya. Sambil memutar alat pikul, kedua orang itu melakukan langkah-langkah mantap
dan itu merupakan kuda-kuda semacam ilmu berkelahi.
Ginggi sendiri tetap menampilkan diri sebagai seorang yang tak mengenal ilmu kedigjayaan,
seperti apa yang dipesankan Ki Darma. Di samping ingat pesan orang tua itu, Ginggi pun
merasa tak punya kepentingan untuk mengeluarkan jurusnya, sebab menurutnya, ini hanya
urusan sepele saja.
Menghadapi pasangan kuda-kuda kedua orang yang mengepungnya, Ginggi hanya meringis
saja. Keduatangannya di depan dada seperti orang ketakutan dan minta diampuni.
Beberapa orang yang sedianya hendak ke pancuran atau hendak berangkat ke ladang,
menyuruh mereka supaya berhenti saja. Gadis semampai berlesung pipit pun berteriak-teriak
menyuruh untuk menyelesaikan urusan ini.
Namun Seta dan Madi sepertinya masih memiliki rasa penasaran bila belum menggebuk
pemuda bodoh tapi ugal-ugalan ini. Secara serentak keduanya melakukan serangan. Madi
mengemplangnya dari belakang Seta menyodoknya dari depan. Ginggi menjerit ngeri, begitu
pun yang lain, semuanya akan membayangkan bahwa sebentar lagi ubun-ubun kepala Ginggi
akan kena kemplang alat pikul yang keras itu dan ulu hatinya pasti tersodok ujung pikulan di
tangan Seta.
Untuk kesekian kalinya, Ginggi berteriak minta tolong sambil punggungnya membungkuk ke
depan. Karena gerakan membungkuk ini, kemplangan dari belakang hanya menggebuk angin.
Sedangkan serangan Seta hanya akan lolos sementara ketika tubuh Ginggi melenting ke
belakang. Bila Ginggi tak menjatuhkan tubuhnya ke samping, akhirnya sodokan akan kena
juga. Sambil telapak kaki menginjak tonjolan batu, Ginggi pura-pura terpeleset dan jatuh ke
samping. Di lain fihak, Seta terlanjur mengeluarkan tenaga sodokan sepenuhnya, sehingga
manakala sodokan itu gagal, tubuh Seta terjerembab ke depan.
Akan halnya pemuda Madi yang merasa kemplangan pertama gagal, secara cepat
mengayunkan alat pikulnya untuk menyabet badan Ginggi bagian samping. Namun tubuh
Ginggi sudah jatuh duluan ke arah berlawanan karena terpeleset batu. Padahal ketika serangan
itu datang, amat bersamaan dengan munculnya tubuh Seta yang terjerembab ke depan.
Akibatnya tak ayal, jidat Seta terkena sabetanujung pikulan. Tidak telak benar, namun cukup
membuat jidat pemuda itu benjol dan warna hijau menghiasi benjolan itu.
Orang-orang tertawa melihatnya. Betapa tidak, serangan dua orang pengepung, dikacaukan
begitu saja hanya karena yang diserang terpeleset kakinya. Lebih lucu dari itu, terjadi
kesalahan penyerangan sehingga yang satu menyerang kawan satunya lagi.
Madi terkejut menyaksikan hasil kerjanya lain dari harapan. Sebaliknya Seta menjadi kesal
dibuatnya. Sambil menahan rasa sakit di jidat, Seta menghambur ke arah Madi.
"Hai, Seta mengapa malah menyerangku!" teriak Madi menangkis serangan Seta.
"Mengapa kau menggebukku?" Seta kembali melayangkan kemplangan. Dan, pletaaak!!!
Ujung pikulan mendarat di dahi Madi. Yang dipukul balik menyerang, sehingga keduanya
akhirnya saling kemplang disertai sumpah serapah. Kini suara jerit penonton disertai teriakan
kesakitan sebab yang bergumul, satu sama lain berhasil mengemplang lawannya.
"Hai! Hai! Jangan berkelahi! Berhenti! Berhenti!" Ginggi sibuk melerai kedua orang yang
baku hantam ini. Akhirnya semua orang ikut terjun melerai perkelahian ini. Dan suasana
kacau di pagi hari, di saat burung berkicau di hutan sana, berhenti manakala terdengar suara
keras memekik dan menyakitkan telinga.
"Berhenti! Apa-apaan sepagi ini kalian sudah saling kemplang, hah?" kata orang itu.
Semua mundur teratur sebab yang datang adalah Ki Kuwu Suntara.
"Mengapa kalian berkelahi?" tanyanya lagi.
"Karena anak dungu itu, Ki Kuwu!" kata Seta menunjuk ke arah Ginggi.
"Karena apa?"
"Dia mengintip orang mandi, Ki Kuwu!"
"Lantas, mengapa malah kalian yang berkelahi?"
Keduanya tak bisa menjawab. Saling pandang dan akhirnya menunduk.
Giliran Ginggi yang diperiksa Ki Kuwu.
"Kau mengintip orang mandi, anak dungu?"
"Aku hanya kena tuding saja, Ki Kuwu!" jawab Ginggi.
"Dia juga mengaku mandi di pancuran khusus wanita, Ki Kuwu," kata Madi sambil
memegangi pipinya yang tergores serangan Seta dan sedikit mengeluarkan darah.
"Kau mandi di tempat wanita?" tanya Ki Kuwu Suntara.
"Betul, tapi di saat pancuran sunyi. Aku mandi paling pagi, Ki Kuwu," jawab Ginggi pula.
"Bohong Ki Kuwu, sebab di pancuran ada Nyai Santimi. Begundal ini pasti habis menggoda
gadis itu, Ki Kuwu!" kata Seta dengan wajah merah dan bibir bengkak kena sabetan Madi.
Wajah pemuda tampan ini jadi kian tak keruan bila ditambah hiasan jendol sebesar telur ayam
di jidatnya. "Nyai, kau mandi bersama pemuda tolol itu?" Ki Kuwu mendeleng ke bagian dada gadis yang
segera Nyi Santimi halangi dengan tangan kanannya.
"Ih, siapa bilang! Dia mandi duluan sebelum saya datang ke pancuran. Saya juga katakan
padanya bahwa lelaki tak diperbolehkan mandi di pancuran ini," tutur Nyi Santimi marah.
"Dia memaksa?"
"Dia sedang mandi ketika saya katakan perihal aturan itu!" kata Nyi Santimi.
"Apa kau mendekati pemuda itu padahal dia sedang mandi, Nyai?" tanya Ki Kuwu Suntara
dengan suara setengah menyelidik.
Tampak wajah Nyi Santimi merah merona. "Saya hanya bicara dari balik rimbunan pohon, Ki
Kuwu!" katanya menundukkan wajah.
"Bagus !" kata Ki Kuwu bergembira.
"Anak itu belum tahu tata-aturan di sini, harap maafkan saja Ki Kuwu," kata seseorang
dengan lemah lembut.
Ternyata yang datang adalah Rama Dongdo. Barangkali dia memaksa datang karena
keributan ini.
Ki Kuwu Suntara memandang Rama Dongdo dengan wajah dingin, tapi kemudian dia
mengangguk.
"Ya, kali ini aku maafkan dia!" katanya sambil berlalu. "Ayo, bubar semua. Bubar. Urusan
selesai!" katanya kepada penduduk yang bergerombol. Semuanya taat dan kembali
mengerjakan tugas masing-masing. Yang akan pergi mencuci pergi ke pancuran dan yang
akan berangkat ke ladang kembali memanggul cangkul. Madi dan Seta yang sedianya
mengambil air minum di mata air pun kembali memikul gentongnya yang masih kosong.
Namun belum beranjak dari tempat itu sebab nampak Ginggi mendekati Nyi Santimi.
"Nyai, baru tahu sekarang namamu Santimi. Indah benar, pas sekali dengan semampai tubuh
dan mungil wajahmu," kata Ginggi. "Oh, ya, maafkan keributan ini. Tapi sungguh aku tak
mengintipmu," katanya lagi.
Madi dan Seta mendengus. Nyi Santimi juga rupanya agak terpengaruh oleh sangkaan kedua
pemuda ini. Buktinya wajahnya agak cemberut.
"Nih pakaianmu, sudah aku cucikan, sudah bersih!" katanya menyerahkan cucian kepada
Ginggi.
"Ah, jasamu tidak akan kulupakan, Nyai. Perlu aku balas. Ayo, biar semua cucian itu, aku
yang bawa. Kalau kau mau menyuruhku mengambil air bersih, akan aku lakukan pula!" kata
Ginggi.
"Mari Nyai, biar aku saja yang membawakan cucian itu!" kata Madi menawarkan jasa.
"Ya, cepat, kau yang bawa Madi!" kata Seta setengah memerintah.
"Biarlah, saya tiap pagi juga membawanya sendiri," Nyi Santimi menolak. Entah kepada
siapa, mungkin semuanya.
Madi dan Seta termangu. Tapi Ginggi segera menyabet ember dan tempat air dari bambu. Dia
segera membawanya pergi.
"Hai, biarkan saya yang bawa! Biarkan!" seru Nyi Santimi sambil berlari kecil memburu
pemuda itu. Namun sesudah keduanya berdekatan, mereka malah berjalan sama-sama.
"Nyi Santimi, kau tidak punya malu mencucikan pakaian orang asing yang dungu itu!" teriak
Madi kesal. Seta hanya menggigit bibirnya sambil meringis menahan sakit. Dia lupa bahwa
bibirnya pun bengkak kena sodokan temannya.
Ginggi dan Nyi Santimi melangkah cepat menyusul Rama Dongdo yang nampak sudah
memasuki lawang kori.
"Kau harus percaya Nyai, aku tak mengintipmu mandi," kata Ginggi di tengah jalan.
"Tapi mengapa kau masih di dekat-dekat situ?" tanya Nyi Santimi masih kurang percaya.
"Ya, gimana, ya? Ah, pokoknya aku tak mengintipmu. Percayalah, aku jujur bicara!" Ginggi
minta dipercaya.
"Sejujur matamu itukah?" Nyi Santimi menyindir tapi Ginggi tak mengerti.
"Lelaki dimana-mana sama saja!"
"Sama apanya, Nyai?"
"Matanya itu!" Nyi Santimi menunjuk pada mata Ginggi. Pemuda itu pun serentak meraba
kedua bola matanya.
"Ah, aku kira mataku hanya bulat saja. Tapi Si Tonghor itu matanya melotot besar. Dan Si
Seta biar pun tampan tapimatanya cekung. Mengapa kau katakan sama, Nyai?’ Ginggi heran
dibuatnya.
"Bukan ukurannya, tapi jelalatannya, tolol!" kata Nyi Santimi membentak sambil tertawa.
Untuk kesekian kalinya orang menyebut tolol padanya. Tapi yang ini rasanya lain. Ginggi
merasa senang.
"Macam-macam orang menggunakan matanya itu, Nyai ada yang karena nafsu ada juga
karena kagum. Bila melihat sesuatu yang indah, mata akan senang dan kagum melihatnya.
Yang salah mungkin tubuhmu, mengapa begitu indah," kata Ginggi terus terang, membuat
rona merah di wajah gadis itu timbul kembali.
"Tapi aku heran Nyai, kekagumanku akan sesuatu yang indah jadi membuat kemarahan
orang. Buktinya kedua pemuda itu marah besar padaku hanya karena ... ya, mataku yang jelalatan itulah. Padahal, mereka pun sebetulnya sama saja! Engkau tak adil hanya aku saja
yang engkau marahi?"
"Aku malah sering memarahi kedua orang yang menyebalkan itu. Mereka sering menggodaku
dan mereka sering cemburu buta. Mereka benci padamu sejak kehadiranmu pertama kali
malam tadi!" kata Nyi Santimi.
"Lho, masa begitu aku datang ke sini sudah membuat kesalahan pada mereka?" tanya Ginggi
menahan langkah sedikit.(bersambung)
Nanti ya lanjutan nya....
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : "SENJA JATUH DI PAJAJARAN" jilid 3 Karya AAN MERDEKA
Ditulis Oleh: Unknown
jika ada bagian yg di copy atau dishare
Judul : "SENJA JATUH DI PAJAJARAN" jilid 3 Karya AAN MERDEKA
Ditulis Oleh: Unknown
jika ada bagian yg di copy atau dishare
"SENJA JATUH DI PAJAJARAN" jilid 3 Karya AAN MERDEKA
Harap menyertakan link ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar