Jumat, 18 Maret 2016

Lanjutan cerita kemaren "Senja Jatuh Di Pajajaran"

Hari semakin kelam. Dan ketika kedua guru dan murid memasuki hutan pinus, suasana sudah
benar-benar gelap. Tapi tubuh Ki Darma dengan lincahnya berjalan menyusuri jalan setapak
sepertinya di tempat itu diterangi cahaya. Padahal jangankan bisa melihat sekeliling, hanya
untuk melihat jari sendiri saja di depan mata, tak mungkin bisa terlihat.
Walau gelap begini, Ginggi pun bisa mengimbangi langkah gurunya. Hanya saja, dia pun bisa
melangkah bukan karena punya kemampuan melihat dalam gelap seperti gurunya, melainkan
karena naluri saja. Setiap malam dia diajak menyusuri jalan setapak ini di gelap malam dan
Ginggi akhirnya jadi hafal betul. Bahwa kendati gelap, dia bisa menduga, sebentar lagi jalan
setapak ini akan berkelok dan menaik menuju puncak gunung.
Tiba di punggung puncak, di mana ada sebuh bayangan bangunan gubuk, Ginggi mendahului
gurunya dan meloncat ke bale-bale. Tiba di sana langsung menjatuhkan tubuhnya.
"Ambil air!" dengus gurunya.
Ginggi masuk ke dalam gubuk. Keluar lagi sudah menenteng tempat air dari buah kukuk
kering. Tanpa lirik kiri-kanan pemuda itu sudah menotor lubang kukuk. Glek,glek,glek
bunyinya.
"Sialan!" gerutu gurunya.
Mendengar gerutu gurunya ini, Ginggi menyadari kekeliruannya.
"Minumlah, Ki, airnya masih bersisa…" Ginggi menyodorkan kukuk. Tapi gurunya melengos
marah.
Namun ketika Ginggi hendak menegak lagi, Ki Darma segera merebutnya.
"Sini!"
Dan Ki Darma mencoba menenteng kukuk ke atas mulutnya. Namun baru beberapa saat, air
di dalam kukuk sudah kering. Digoyang-goyang beberapa kali, air tak mau keluar.
"Biar aku ambilkan di tempayan…" Ginggi mencoba bergegas.
"Tak perlu."
"Kalau begitu, apa yang mesti aku kerjakan untuk Aki?" Ginggi berusaha menghibur.
"Bertugas kembali!"
"Walah aku musti latihan lagi"
Dan Ki Darma mengangguk.
Dia segera duduk di bale-bale.
Tegak, mematung.
Ginggi berdiri juga tegak mematung. Hanya sepasang tangannya bersilang di dada. Diterpa
angin malam, rambutnya riap-riapan.
"Aku capek sekali, Ki…" katanya dingin.
"Tidak akan secapek rakyat Pajajaran menyimak tindakan rajanya …" gumam Ki Darma.
Ginggi akhirnya menghela napas. Dia pun ikut duduk bersila, berhadap-hadapan dengan
gurunya.
"Setiap Aki menugasiku latihan, selalu saja bicara perihal Raja Pajajaran. Apa yang
sebetulnya tengah terjadi dengannya, Ki?" Ginggi menyeka keringat di wajahnya dengan
punggung tangannya.
Berbarengan dengan hembusan angin malam, Ki Darma pun menghela napas panjang.
"Coba kau nyalakan pelita di tengah ruangan," gumam Ki Darma dengan nada datar.
Ginggi berjingkat untuk menyalakan pelita yang minyaknya diambil dari gajih kelelawar serta
sumbunya dari serat nenas hutan.
Terlihat percikan api manakala sepasang batu sekepalan tangan saling dibenturkan. Percikan
api itu ditampung oleh rambut-ramput pohon enau.
Remang-remang saja api pelita itu namun cukup untuk menerangi ruangan tengah gubuk.
Kedua orang itu kembali duduk bersila saling berhadapan.
"Usiamu sudah dewasa. Sejak kau kupungut di jalanan Wilayah Caringin belasan tahun silam,
waktu sudah terpaut 10 tahun lamanya. Itu cukup pantas untuk mengukir sejarah hidupmu,"
tutur Ki Darma.
Ginggi mengerutkan dahi. Bagian dari latihankah penuturan ini?
"Kerapkali Aki selalu mengatakan hal ini. Apakah benar-benar terjadi? Yang aku ingin
percayai, bahwa Aki ini adalah orangtuaku sendiri," tutur Ginggi.
"Dasar anak gendeng. Tapi itu juga bagus. Hanya percaya kepada sesuatu yang sudah terbukti
kebenarannya memang wajar," tutur Ki Darma tersenyum.
Ginggi masih tetap bersila.
"Nanti kau akan tahu, siapa dirimu sebenarnya bila kelak kau datangi jalan berlumpur di
wilayah Caringin. Carilah sebuah tempat di mana dulu pernah terjadi pertempuran kecil tapi
sempat memakan korban jiwa," kata Ki Darma kemudian.
Ada kerutan di dahi, menandakan Ginggi tertegun mendengar berita ini.
Melihat roman wajah Ginggi, Ki Darma terkekeh-kekeh.
Ginggi menatap gurunya.
"Tapi kalau aku hanya seorang anak kecil yang ditemukan di kubangan lumpur dan Aki tak
tahu siapa kedua orang tuaku, lantas bagaimana mungkin Aki tahu namaku. Siapa sih yang
memberiku nama Ginggi?" tanya anak muda itu kemudian.
"Aku yang memberimu nama."
"Aku pernah berbincang dengan penduduk di kaki gunung. Katanya Ginggi artinya jin atau
iblis, yah sebangsa duruwiksa pembuat kejahatan. mengapa sih, Aki tega memberiku nama
jelek seperti itu?"
"Hahaha! Betul sekali, Ginggi adalah siluman yang akrab dengan berbagai kejahatan!"
"Senangkah aku berbuat jahat?"
"Kau tanyakan sendiri pada dirimu. Sebab pada dasarnya, manusia itu hidup dibekali berbagai
pilihan. Apakah kau memilih yang baik atau sebaliknya, bergantung pada pilihanmu itu. Aku
pilih Ginggi sebab dunia ini tengah dipenuhi duruwiksa jahat. Manusia jadi pemakan manusia
yang lainnya. Ginggi lahir di saat iri dan dengki, aniaya serta fitnah merajalela di bumi
Pajajaran. Nama Ginggi akan selalu mengingatkanmu kelak, apakah akan sekalian kau ikut
pula terperosok ke dalamnya ataukah akan menjadi pemberantasnya," kata Ki Darma panjanglebar.
"Duruwiksa? Begitu kelamkah bumi Pajajaran sehingga disenangi kaum duruwiksa?" gumam
Ginggi.
Ki Darma hanya tersenyum kecut.
"Hidup memang bagaikan berputarnya roda pedati. Ada kalanya di atas, ada kalanya di
bawah. Pajajaran sekarang sedang berada pada bagian paling bawah. Sejak Kangjeng Prabu
Sri Baduga Maharaja tidak lagi memerintah Pajajaran, hampir tak ada kebanggaan yang kita
miliki lagi. Ginggi, hanya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja yang kebesarannya bisa
disejajarkan dengan eyang-buyutnya, Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Hanya Sri Baduga
yang bisa memimpin negara dengan penuh kebijaksanaan. Selama 39 tahun memimpin negri,
beliau telah sanggup mensejahterakan rakyat, juga mensejahterakan negri-negri lain. Beliau
sanggup memantapkan kehidupan keagamaan padahal di tanah negara ini tengah berlangsung
pergeseran kepercayaan. Hanya beliau yang telah sanggup membangun angkatan perang
padahal tak pernah berlangsung peperangan. Kendati hubungan dengan Cirebon telah retak,
namun dengan mereka tak pernah berlangsung pertempuran. Prabu Sri Baduga Maharaja
adalah raja dari semua raja, harum namanya sehingga beliau pun dijuluki Prabu Siliwangi,"
kata Ki Darma, matanya menerawang ke kejauhan.
"Menurunkah keelokan Kerajaan Pajajaran sesudah Sri Baduga tak berkuasa lagi?" tanya
Ginggi penasaran.
"Tidak benar-benar tergelincir. Tapi penggantinya tak mampu mensejajarkan diri dengan
pendahulunya."
"Siapakah penggantinya, Aki?"
"Dialah Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja."
"Bagaimana cara dia memerintah?"
"Sebenarnya dia baik, hanya sayang ambisinya tak tertahan. Dia penuh ambisi, selalu
mempertahankan kehormatan dengan jalan kekerasan. Kau bayangkan Ginggi, selama 14
tahun memerintah, dia memimpin peperangan sebanyak 15 kali. Pertikaian dengan Demak,
Banten dan Cirebon tak terelakan. Peperangan pun berlangsung."
"Unggulkah Pajajaran?"
Ditanya seperti ini, Ki Darma nampak mengeluh. Tapi keluhnya tertahan di kerongkongan.
Menyakitkan.
"Permusuhan dengan Banten, Demak dan Cirebon, membuat kesedihan buat semua orang
Pajajaran. Pelabuhan penting tempat perniagaan orang Pajajaran lepas sesudah Banten
memisahkan diri. Pajajaran kehilangan Pelabuhan Pontang dan Cibanten. Setahun kemudian,a
Pelabuhan Sunda Kalapa pun jatuh direbutnya. Semua wilayah pesisir utara bahkan dikuasai
Cirebon, sehingga mulai saat itu, Pajajaran tak lagi menguasai lautan. Sunda bukan negara
lautan lagi. Rakyat mencari penghidupan jauh di pedalaman dan hanya menjadi pehuma dan
peladang," tutur Ki Darma.
"Apakah kemudian Pajajaran menjadi hancur?"
"Tidak benar-benar hancur. Sebab meski sudah ada kelompok pengkhianat di tubuh Pajajaran,
namun masih lebih banyak lagi para ksatria Pajajaran yang berani bertahan demi keutuhan
negri. Sang Surawisesa yang putus asa digantikan oleh putranya, yaitu Prabu Ratu Dewata."
"Bagaimana dengan yang lain?"
Ki Darma terkekeh masam.
"Entahlah. Aku sendiri bingung menyimak kehidupan ini. Usiaku 15 tahun ketika Sang Prabu
Sri Baduga Maharajadiwastu (dilantik) di atas batu keramatSriman Sriwacana Palangka Raja .
Aku pun menyaksikan sendiri berbagai perubahan di bumi Pajajaran, sejalan dengan berbagai
macam perubahan kebijaksanaan dari para pemimpinnya. Surawisesa pandai berperang,
digjaya dan penuh semangat. Namun di bawah kepemimpinannya rakyat menderita karena
perang amat berkepanjangan. Limabelas kali peperangan, mengakibatkan banyak anak
kehilangan ayah, istri kehilangan suami dan pehuma melepaskan pekerjaannya. Dan
penggantinya, Sang Ratu Dewata, malah kebalikannya. Dia tak menyukai bentuk-bentuk
kewiraan. Hanya agama dan filsapat saja yang diurusnya. Dia senang tapabrata dan
membesarkan kehidupan keagamaan. Sarana agama berdiri di mana-mana tapi kesejahteraan
lahiriah rakyatnya sendiri tak diperhatikan. Dia membutakan diri terhadap kehidupan lahiriah
termasuk membutakan diri terhadap kehidupan bernegara. Karena kehidupan negara tak
tersentuh, maka rakyat jadi terlantar. Pergeseran kehidupan karena hadirnya agama baru
bernama Islam, jadi sumber malapetaka di Pajajaran. Dalam upaya menahan kehadiran agama
baru, Sang Prabu malah memperkuat agamaKaruhun (nenek- moyang). Dan kebijakan ini
malah menimbulkan berbagai pertikaian. Negara-negara kecil yang semula ada di bawah
payung Pajajaran semakin banyak yang melepaskan diri dan bergabung dengan Banten atau
Cirebon sebab mereka tertarik kepada agama baru. Malah lebih parah dari itu, negara-negara
kecil itu berani menyerbu Pajajaran pula. Maka pada zaman Sang Prabu Dewatalah pusatpusat
keagaman seperti di Sumedanglarang, Jayagiri atau Ciranjang diserbu mereka. Sang
Prabu yang katanya punya cita-cita mempertahankan agama lama yang dianutnya, dalam
kenyataanya sama sekali bahkan tidak sanggup mengobarkan perlawanan. Hanya para perwira
tua yang sanggup bertahan."
"Tak ada pemimpin baru yang sempurna?"
Ditanya seperti ini, wajah Ki Darma makin muram.
"Dari semua keadaan dan peristiwa, maka pada hari-hari belakangan inilah Pajajaran semakin
muram …" kata Ki Darma masih menunduk.
"Apakah semakin menyedihkan?"
"Benar-benar amat menyedihkan, Ginggi …"
"Apakah bumi Pajajaran semakin porak-poranda oleh musuh? Apakah semakin banyak anak
kehilangan ayah dan kemudian banyak istri kehilangan suami?" Ginggi semakin penasaran
mencecar dengan banyak pertanyaan.
Berlatih Melawan Harimau
Dua orang guru dan murid ini masih tetap mengobrol saling berhadapan.
"Tidak ada serbuan musuh. Tidak juga ada orang kehilangan pekerjaan. Bahkan hari ini, di
saat rakyat dipimpin oleh Sang Prabu Ratu Sakti, rakyat begitu giat bekerja," kata Ki Darma.
"Giat bekerja?"
"Betul. Kaum peladang seperti tak punya waktu pulang ke rumah sebab waktu telah
dihabiskan di ladang. Begitu pun pehuma hampir-hampir lupa kalau dirinya punya rumah
sebab seluruh waktunya telah dihabiskan di huma. Kemudian nelayan lebih memilih mati di
tepi sungai ketimbang pulang tak membawa hasil," kata Ki Darma lagi dengan nada berat dan
sumbang.
"Kalau begitu, itulah masa-masa kemakmuran bagi Pajajaran," potong Ginggi
memperlihatkan wajah ceria.
Brak!
Ki Darma malah menggebrak permukaan bale-bale sehingga kulit buah kukuk terlontar ke
udara. Sebelum kulit kukuk itu jatuh ke atas bale-bale, Ginggi segera menangkapnya selagi
benda itu berada di udara.
Sambil memeluk kulit kukuk di haribaan, Ginggi menatap gurunya dengan heran.
"Tidak makmurkah negri Pajajaran di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti?" tanya
Ginggi kemudian.
"Pajajaran memang makmur."
"Nah? Jadi mengapa Aki musti marah?"
"Sebab, kemakmuran nyatanya tidak menghasilkan keadilan bagi rakyat. Rakyat tak sejahtera
sebab seluruh kekayaan negara diboyong ke istana!" kata Ki Darma.
"Lho?"
"Semua buah-buahan yang enak-enak ada di kebun istana Tajur Agung. Buah durian
dibiarkan jatuh sendiri dan buah semangka dibiarkan membusuk di mana-mana. Petugas
dapur istana setiap hari dimarahi karena hampir setiap hari pula bulir-bulir padi dibiarkan
membusuk. Itulah saking melimpahnya kekayaan di istana," tutur Ki Darma lagi.
"Hanya melimpah-ruah di seputar istana saja?"
"Ya. Dan semua hanya untuk kepentingan orang-orang istana saja. Untuk kemakmuran para
bangsawan, kerabat raja dan kaumsantana saja."
"Kaum santana?"
"Ya, kaum santana adalah kelompok pedagang kaya atau petugas negara termasuk kalangan
perwira kerajaan…" sahut Ki Darma.
"Jadi, rakyat sendiri dapat bagian apa?"
"Rakyat hanya dapat kewajiban saja dan sangat sedikit bagiannya yang bernama hak."
"Kok bisa-bisanya begitu, ya …" Ginggi berdecak. Bukan decak kagum tapi karena tak habis
mengerti.
Ki Darma nampak menghela napas panjang.
Prabu Ratu Sakti yang memimpin negri hari-hari belakangan ini sebenarnya punya tujuan
baik. Dia ingin mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan seperti dialami oleh Sri Baduga
Maharaja, kakek-buyutnya. Tapi untuk mengembalikan kejayaan negri butuh daya dan tenaga.
Harta kekayaan yang melimpah pun amat dibutuhkan. Hanya bedanya, bila dulu kekayaan
negri melimpah dihasilkan melalui perdagangan antarnegri, kini kekayaan kas negara harus
dihasilkan dari keringat rakyat sendiri. Kemampuan rakyat dipompa habis,seba ditarik
setinggi-tingginya."
"Seba?"
"Seba adalah semacam pajak. Setiap penghasilan rakyat musti dipotong, diberikan kepada
pemerintah. Pajakdasa dancalagara dilipatgandakan."
"Apakah itu?"
"Dasa adalah pajak tenaga perorangan dan calagara merupakan pajak tenaga secara gotongroyong.
Seluruhambarahayat Pajajaran sejak dahulu memang dikenakan pajak-pajak seperti
ini. Mereka diwajibkan mengerjakan huma dan ladang milik negara atau tanah-tanah milik
para bangsawan. Bisa juga mereka dikenakan pajak negara untuk bertugas mencari ikan di
muara dan di laut. Bedanya, dasa dan calagara yang dikerjakan di masa-masa silam, selalu
dilakukan dengan hati senang. Rakyat bekerja penuh pengabdian. Mengolah ladang dan huma
sambil bersenandung, kendati keringat basah mengucur. Anak-anak pun riang-gembira
ikutmarak ataumunday bersama orangtuanya …"
"Apakah marak dan muday itu, Ki"
"Keduanya sama-sama bekerja di muara sungai mencari ikan. Bila hasil ikan
memenuhibuleng , yaitu tempat ikan dari anyaman bambu, maka mereka saling berebutan
memanggulnya sambil riang-gembira. Ikan yang banyak itu, semua diserahkan kepadawadha ,
yaitu petugas negara dalam urusan itu. Ya, rakyat senang mengabdi kepada negara. Itu terjadi di zaman Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi …"
kata Ki Darma matanya menatap nanar ke taburan bintang di langit.
Ginggi ikut merenung ketika Ki Darma seperti mengumbar lamunan.
"Itulah sebabnya, aku selalu rewel kalau kau malas melakukan latihan …" gumam Ki Darma
kemudian.
Ginggi menatap tajam ke arah gurunya.
"Tugasku apa, Ki?" tanyanya kemudian.
Ki Darma kembali mengeluh pendek. Wajahnya muram semuram cahaya pelita.
"Terlalu besar dan amat mustahil bila kau seorang diri bisa mengubah keadaan. Namun
dengan punya niat suci ikut meringankan beban rakyat, hidupmu telah lebih baik ketimbang
duduk berpangku tangan …"
"Ya, apa tugasku?"
"Banyakcutak (camat) atau pemimpinkandagalante (wedana)di wilayah ini yang kerjanya
memeras rakyat hanya karena mereka ingin dipuji atasannya. Mereka menyiksa dan memaksa,
menghentak mencari jasa. Mereka tertawa bila wilayahnya dipuji sebagai penghasil seba
paling baik tapi sama-sekali tak menggubris rakyat yang menjerit karena tercekik. Itulah
tugasmu, Ginggi. Tidak akan seluruhnya bisa kau selesaikan. Tapi cobalah sebab mencoba
jauh lebih baik ketimbang diam sama-sekali," kata Ki Darma lagi.
Ginggi terpekur mendengar uraian gurunya ini.
"Aku tak tahu apa yang musti dikerjakan. Aku pun bahkan tak tahu dari mana musti mulai …"
kata Ginggi berdesah.
"Kau akan mengalami perjalanan amat panjang. Dan sebelum tiba pada perjalanan
sesungguhnya, kau akan bersusah-susah di tempat ini dulu. Masih banyak yang harus kau
sempurnakan di sini …"
"Urusan kewiraan?"
"Benar, sebab di zaman seperti ini, hanya ilmu kewiraan yang bisa digunakan dalam
mempertahankan hidup," tutur Ki Darma.
***
Seperti apa yang diisyaratkan oleh Ki Darma, Ginggi harus menjalani sesuatu yang jadi
persyaratan.
Tidak siang tidak malam, setiap hari Ginggi harus memperdalam ilmu kewiraan.
Tapi selama hidupnya, sebenarnya Ginggi belum pernah bertemu musuh. Namun, kian
mendalami ilmu yang diberikan oleh Ki Darma, kian jelas pada dirinya, betapa sebenarnya ilmu-ilmu itu hanya diperuntukkan dalam menghadapi musuh. Itu adalah ilmu perkelahian.
Di beberapa bagian, jurus-jurus dan gerakan yang diberikan Ki Darma membuat hati Ginggi
bergidik, sebab jurus-jurus itu disiapkan untuk membunuh lawan.
Pada suatu hari Ginggi diawasi Ki Darma untuk memainkan satu dua jurus perkelahian.
Di puncak Gunung Cakrabuana ini, suasana masih dipenuhi embun karena matahari belum
memancarkan sinarnya. Namun di tengah tanah lapang berumput hijau, Ginggi dan Ki Darma
sudah berdiri tegak.
Puncak Gunung Cakrabuana ini bila dilihat dari kakinya seperti kecil tak berarti. Namun bila
berdiri di puncak, tempat tertinggi dari gunung itu sebetulnya merupakan sebuah lapangan
yang cukup luas. Kalaulah di sini diselenggarakan latihan perang-perangan, maka dua
pasukan besar dengan masing-masing kekuatan seratus prajurit dan saling berhadapan masih
mampu ditampung di lapangan puncak gunung ini.
Sekarang, di pagi hari yang sunyi ini, lapangan begitu luas hanya dipakai oleh dua orang saja.
Malah yang melakukan gerakan berlatih hanya Ginggi seorang saja, sementara itu Ki Darma
sendiri hanya bertindak sebagai pengamat belaka.
Kalau pun ada "orang" ketiga, itu pun hanyalahbebegig saja, yaitu bentuk orang-orangan
terbuat dari susunan jerami padi huma dan kepalanya terbuat dari buah kukuk.
Ginggi berdiri di atas tanah berumput dengan kuda-kuda yang amat aneh, yaitu berdiri hanya
menggunakan satu kaki kanan saja. Agak doyong ke depan sementara lutut agak sedikit
melipat dan ujung telapak kakinya berjingkat. Kedua tangannya bersilang di depan dada.
Tangan kanan terkepal keras dan tangan kiri nampak meluruskan dua jari-jari. Sepasang jarijari
ini tepat membelah muka di bagian hidung.
Ginggi menahan napas, memusatkan pikiran dan segera mencoba mengalirkan tenaga
dalamnya ke kaki kanan. Manakala terdengar bentakan keras dari mulut Ki Darma, Ginggi
pun segera meniru membentak keras. Suaranya melengking tapi akan menyakitkan telinga
bila di sana kebetulan ada yang mendengarnya. Namun belum juga usai suara bentakannya,
Ginggi menjejak panggung dengan kerasnya. Kaki kanan yang tadi agak doyong serentak
bergerak bagaikan per dan badannya melontar ke depan. Secara kilat tubuh pemuda itu
meluncur bagaikan anak-panah hendak menancap di tubuh orang-orangan.
Dan manakala tubuh Ginggi tepat berada di atas orang-orangan, kedudukannya nampak
terbalik, kepala di bawah kaki di atas. Ginggi melakukan gerakan salto. Namun itulah gerakan
serangan paling utuh. Tangan kanan yang tadi terkepal serentak dibuka lebar-lebar dan
didorong ke depan mengarah wajah orang-orangan.
Itu adalah gerakan serangan tamparan. Tapi tangan mengembang itu tidak dilanjutkan untuk
melakukan tamparan namun untuk menghalangi batas pandangan mata musuh. Serangan
sebenarnya yang akan dilakukan adalah melalui tangan kiri. Dua jari tangan yang tajam dan
lurus, secara ganas "menerobos" ubun-ubun orang-orangan itu. Crap! Buah kukuk tertembus
jari Secara cepat, jari tangan kiri segera ditarik dan kini giliran tangan kanan ganti menyerang.
Telapak tangan itu terbuka lebar dan "menepuk" jidat buah kukuk. Prak, "kepala musuh"
pecah berantakan. Tubuh Ginggi jumpalitan beberapa kali untuk kemudian berdiri tegak tiga
depa jauhnya. Namun begitu kaki menjejak tanah, tubuh Ginggi menggigil seperti terserang
demam.
"Ada apa?" Ki Darma kaget.
"Ganas! Ganas!" pekik Ginggi.
"Apanya yang ganas?"
"Serangan itu. Gerakan itu amat mematikan. Ganas dan tak manusiawi!" kutuk Ginggi lagi.
Ki Darma menghela napas dibuatnya.
"Memang begitulah …"
"Tapi mengapa, Aki bilang orang Pajajaran terkenal berbudi halus. Kok sanggup menciptakan
ilmu ganas untuk membunuh orang?"
Lagi-lagi Ki Darma menghela napas panjang.
"Yang penting bagaimana kita memperlakukannya. Ilmu bela diri di mana pun memang ganas
sebab dibuat untuk membunuh lawan. Ilmu bela diri Pajajaran selalu mencari urat kematian
dari mulai ubun-ubun hingga ujung kaki. Namun apakah mentang-mentang punya ilmu, maka
setiap saat kita akan membunuhi orang? Kita pun punya pisau pangot tidak selalu digunakan
untuk menorehi kayu. Ilmu kedigjayaan musti engkau miliki bukan untuk mencari-cari lawan
namun untuk menjauhi lawan. Kalau engkau diserang lawan, cepatlah berkelit. Kalau tak bisa
berkelit, menghindarlah. Kalau tak bisa menghindar, larilah dengan cepat. Tapi kalau masih
dikejar dan terpepet, lawanlah dia. Maka di sanalah ilmumu kau gunakan …" tutur Ki Darma
panjang-lebar.
Namun Ginggi masih tetap terpengaruhi oleh hasil serangannya tadi.
"Itulah kelemahanmu, Ginggi. Satu saat kelemahan ini akan membahayakan dirimu," kata Ki
Darma.
Ginggi tercenung. Ucapan gurunya ini telah beberapa kali dikemukakan. Dan kebenaran katakata
itu pernah terjadi.
Suatu saat Ginggi ditugaskan berburu menjangan untuk persediaan makanan.
Di lereng Gunung Cakrabuana yang berhutan lebat banyak didapat bermacam-macam
binatang seperti kelinci, menjangan namun juga ada meong congkok, macan tutul dan
harimau.
Ketika anak muda itu hendak menangkap seekor menjangan, banyak hambatan menahan
dirinya, yaitu perasaannya selalu tak enak. Menjangan itu tak berdosa, mengapa harus.dibunuh. Menjangan adalah binatang yang lugu. Dia tak merugikan makhluk lainnya. Tidak
pula sanggup membunuh binatang sekecil apa pun. Jadi, mengapa sekarang harus dibunuh?
"Tak selamanya membunuh disebut jahat," ujar gurunya suatu ketika. "Harimau membunuh
bukanlah sebuah kejahatan sebab dia perlu makan. Dia pun tidak serakah sebab bilamana rasa
laparnya sudah hilang dia tak membunuh lagi," tutur gurunya lagi. "Lagi pula, harimau
bukanlah binatang usil. Kalau dia tak diganggu maka dia tak akan mengganggu. Setiap akan
bertemu manusia, harimau selalu menghindar, kecuali kalau kepentingannya akan diganggu
dan dirinya merasa ada dalam bahaya. Berburu menjangan bukan kejahatan sebab kita butuh
makan. Karena di dalam hutan ada menjangan dan dagingnya menyehatkan untuk jadi
makanan, maka menjangan diburu," lanjut Ki Darma lagi.
Ginggi mengintip seekor menjangan. Menjangan itu masih muda. Kalaulah dia manusa,
mungkin seusia dirinya. Atau barangkali belum pantas untuk dilepas sendiri oleh induknya.
Tapi Ginggi tak tahu mengapa menjangan itu malah berkeliaran sendiri, sebab dengan begitu
bakal ada ancaman terhadap nyawanya.
Semula Ginggi akan menimpuk kepala menjangan muda itu dengan batu. Namun karena rasa
kasihan, niat itu diurungkannya.
"Dia akan kutangkap hidup-hidup saja dengan menggunakan ilmuSalimpet Haseup ," pikir
Ginggi. Ini adalah sebuah ilmu untuk menyeruak di tengah-tengah belukar namun tanpa
menimbulkan bunyi keresekan.
Namun belum lagi dia bertindak, dari arah sana ada bunyi keresekan amat halus. Hanya
karena pemuda itu pandai menggunakan ilmuHiliwir Sumping , sejenis ilmu untuk mendengar
suara dari jarak jauh, maka suara keresekan itu terdengar nyata. Hati Ginggi berdebar.
"Harimau …" bisiknya perlahan.
Dan benar saja, ada tubuh besar berbulu kuning dengan polet garis-garis hitam menerjang ke
arah tubuh menjangan bagaikan kilat.
Ginggi harus berani adu cepat, sebab bila terlambat sedikit saja, maka tubuh menjangan muda
itu akan jadi santapan koyakan kuku dan taring-taring tajam.
Ginggi menotolkan ujung jari kakinya kemudian tubuhnya melesat mengarah tubuh Si Raja
Hutan itu.
Harimau itu perhatiannya tengah tercurah kepada buruannya, sehingga manakala terjangan
kaki Ginggi menyerang, dia tak bisa menghindar.
Dukk!
Terdengar suara gerengan keras membelah dada.
Harimau itu pasti kesakitan. Namun Ginggi sadar, sebenarnya kalaulah serangan kakinya tak
dikurangi sampai dua pertiganya, maka binatang besar itu pasti akan terluka amat hebat dan
barangkali akan tewas. Tapi Ginggi tak mau membunuh binatang itu. Hanya saja akibat dari rasa kasihan inilah maka sebagai imbalannya ada serbuan amat ganas dari Si Raja Hutan.
Sang Harimau kini meninggalkan buruannya dan segera mengalihkan serangannya kepada
pemuda itu.
Dengan serta-merta tubuh sebesar kerbau itu melesat terbang mengarah tubuh Ginggi.
Pemuda itu menghindar ke bawah perut harimau. Maka seandainya akan menamatkan riwayat
binatang itu, Ginggi hanya perlu menusuknya dengan ujung jarinya ke arah perut harimau dan
binatang itu niscaya akan tersobek perutnya. Namun Ginggi tak melakukan hal itu. Yang dia
lakukan hanyalah merapatkan tubuhnya di atas tanah dan perut binatang buas itu bergelisir ke
punggung pemuda itu.
Untuk kedua kalinya harimau menerjang keras dengan cakarnya yang tajam. Kembali Ginggi
melengos mundur. Namun tak dinyana, binatang itu menotolkan sebelah kakinya ke atas
tanah sehingga tubuhnya bisa "terbang" kembali menghampiri pemuda itu. Ginggi tak
menyangka akan hal ini. Hanya saja secara tiba-tiba jari beruncing dari kaki depan harimau
sudah bergerak cepat hendak mencarut wajahnya.

bersambung jilid 2...
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : Lanjutan cerita kemaren "Senja Jatuh Di Pajajaran"
Ditulis Oleh: Unknown
jika ada bagian yg di copy atau dishare

Lanjutan cerita kemaren "Senja Jatuh Di Pajajaran"

Harap menyertakan link ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar