Kamis, 17 Maret 2016

Senja Jatuh Di Pajajaran

Novel trilogi dengan setting masa pajajaran.
buah karya AAN MERDEKA.
Yg suka silahkan baca..
Jilid 01_______________________


Suara tepukan itu iramanya terdengar beraturan. Dan yang lebih khas dari itu, keras
menyakitkan karena tepukannya dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.
Suara itu terus menggema ke segala arah. Dan untuk yang kesekian kalinya, terlihat burung burung
beterbangan dari dahan-dahan pohon pinus karena kaget.
Namun manakala ribuan kelelawar melintas di goresan-goresan merah lembayung di ufuk
barat, suara tepukan segera berhenti.
"Lanjutkan, Ginggi!" teriak satu suara yang berat.
"Tapi, kelelawar sudah mulai meninggalkan sarang, Aki," jawab suara lainnya agak tinggi
melengking.
"Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!" yang bersuara berat terdengar membentak dan
suaranya seperti memukul gendang telinga yang mendengar.
Namun suara tepukan belum terdengar juga.
"Aki, lihatlah! Kedua belah tanganku sudah pecah kulitnya dan ada darah keluar dari lubang
pori-porinya. Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?" keluh si suara kecil
melengking dengan nada jengkel. Namun dijawab juga oleh suara nada berat tak lebih
jengkelnya, "Penderitaanmu dalam melaksanakan tugas latihan ini tidak separah rakyat
Pajajaran, Ginggi.
Hancur kulit telapak tangan tak seberapa, sebab dalam sehari dua hari akan
sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan perasaan tak mungkin terobati sampai akhir
hayat," kata si suara berat.
Hening sejenak. Terkecuali ada bunyi serangga yang terdengar dari kejauhan. Mungkin
datang dari gundukan hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis.
Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh semakin menebal. Namun dua orang aneh
yang asyik berdebat itu masih jua tak beranjak. Keduanya bahkan sedang melakukan gerakangerakan
aneh di bawah lembah memanjang, sebuah tempat yang paling dingin di puncak
gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin.
Kedua orang itu mengambil tempat di sela-sela beberapa pohon loa yang besar dan
berjanggut. Yang satu duduk bersila dengan punggung tegak serta dada membusung. Usianya
mungkin sekitar 60 tahunan. Ada kumis tebal dan jenggot menggapuy hingga sebatas dada
dan semuanya berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain pengikat berwarna nila
namun tak sanggup menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan. Kalau lembayung tak
begitu tipis, mungkin akan merupakan paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu
sanggup menerpa warna perak rambut orang tua itu.
Ini sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin seperti itu, di mana kabut mulai
menggayut, tapi dada bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat.
Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi.
Lelaki ini usianya jauh lebih muda lagi, barangkali sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati
rambutnya sama panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini nampak hitam legam
dan tebal. Ada sedikit keriting di ujung-ujungnya.
Dia pun sama tak berbaju, kecuali celanapangsi , yaitu celana panjang sebatas betis berwarna
nila.
Karena tak berbaju pula, maka nampak dadanya yang bidang pula. Ada tonjolan otot di
sepasang lengannya.
Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur, hidungnya sedikit mancung, mulutnya
selalu menyungging senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya, sepasang matanya
berbinar bulat.
Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu tanah. Begitu panjangkah hingga
sanggup menyapu tanah?
Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang. Bisa tergerai menyapu tanah lantaran
tubuh pemuda itu posisinya dalam keadaan tak normal.
Anak muda ini ternyata tengah melakukan atraksi. Seraya sepasang telapak tangannya masih
bertepuk-tepuk lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya nampak tengah
bergayut di dahan pohon loa.
Kalau bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, maka orang Pajajaran bilang itu adalahtapa
sungsang . Tapi anak muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan tengah berlatih
ilmu kedigjayaan.
"Aku tidak bilang bahwa kesengsaraanku lebih tinggi dari rakyat Pajajaran. Yang aku
perbincangkan adalah soal janji Ki Darma sendiri," gumam anak muda itu masih bergayut.
"Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada janji yang tak aku tepati," jawab si
lelaki tua.
"Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?"
"Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan berlangsung dari mulai kelelawar
pulang sarang hingga mereka kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah di atas awan
lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar sarang?" tanya anak muda yang ternyata
bernama Ginggi itu.
Lelaki tua yang disebutnya Ki Darma itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Memang itu yang aku katakan sejak tiga hari yang lalu," jawabnya."Jadi, apanya yang
salah?"
"Sekarang, kelelawar mulai keluar sarang!" Ginggi menatap gurunya dengan wajah terbalik.
"Memang mulai keluar sarang."
"Ya, tapi mengapa aku disuruh latihan terus!"
"Ya harus, sebab kelelawar mulai keluar sarang!"
"Aki licik!" "Kugampar mulutmu bila sekali lagi kau bilang aku licik!" Ki Darma nampak
mengangkat tangan seolah mau menampar mulut muridnya.
"Coba kau sebutkan, omonganku yang mana yang kau anggap licik!" tanya Ki Darma lagi.
Tangannya tetap mau menggampar mulut Ginggi.
"Baru mulai, tolol! Kan aku bilang, latihan berhenti kalau kelelawar baru keluar dari sarang.
Sekarang memang baru mulai!" Ki Darma membentak marah.
"Maksudmu, semua kelelawar mesti keluar dulu?"
"Begitulah!"
"Waduh, mati aku! Jadi sampai kapan latihan ini bisa selesai? Lihatlah Aki, bukan lagi ribuan,
bahkan puluhan ribu kelelawar sudah keluar dari sarang. Bila harus menunggu kelelawar
paling akhir, kapan selesainya?" Ginggi garuk-garuk kepala.
"Tidak musti menunggu semua habis keluar. Satu kelelawar yang datang di rombongan paling
belakang, itulah sasaranmu."
"Apa yang harus aku lakukan ?"
"Timpuklah dengan buah loa."
"Dan musti kena?"
"Dan musti kena!"
"Celaka!"
"Dasar anak malas! Tolol kamu!" lagi-lagi Ki Darma membentak
Untuk kesekian kalinya, Ginggi menepuk-nepuk sepasang telapak tangannya, seolah tak mau
mentaati apa perintah gurunya. Namun manakala datang lagi serombongan kelelawar di
angkasa, sepasang kakinya yang menggayut di dahan pohon loa segera dilepas. Serentak
dengan itu dia jumpalitan. Ketika sepasang kakinya menjejak tanah, ujungnya dia hentakan
pada tonjolan batu. Maka tubuhnya mumbul lagi ke udara. Dia jumpalitan lagi. Pas tangannya
berada di dahan pohon, dia petik satu buah loa. Dan serentak dengan itu dia timpukkan ke
udara.
Siuuuut! Plass!
Terdengar suara elahan napas kecewa dari Ki Darma. Ginggi pun menoleh pada gurunya
dengan nada kecewa.
"Tapi sedikit lagi hampir kena, Ki …" gumam Ginggi seperti ingin menghibur, entah
menghibur siapa. Yang jelas, Ki Darma sudah melengos pergi dan berlari-lari kecil
meninggalkan Ginggi dengan cara berloncatan pada tonjolan-tonjolan batu. Ki Darma
menaiki lembah dengan cara seperti itu.
Ginggi pun segera mengikutinya namun dengan cara merayap biasa saja. Dan dengan susahpayah,
baru bisa menaiki tebing untuk meninggalkan lembah.
"Kalau senja tak semakin meremang, aku yakin, kelelawar itu bisa aku timpuk …" gumam
Ginggi seorang diri ketika sudah berada di belakang tubuh Ki Darma.
"Tapi mataku tak pernah terpengaruh siang dan malam. Yang menentukan ke mana harus
menyerang adalah kepastian di mana sasaran berada," kata Ki Darma.
"Tapi, Aki…"
"Ya, karena kau tolol tak sanggup menangkap gerakan kelelawar itu!" potong Ki Darma tak
mau memberi peluang Ginggi untuk mengemukakan alasan.
"Aku akan sungguh-sungguh berlatih, Ki …"
"Bukan berlatih tapi bertugas. Latihan itu hanya bagian penting dari tugas besarmu!"
"Baik, Ki."
"Nanti lewat tengah malam, aku akan bunyikn kentongan selama sepemakan sirih. Sesudah
itu aku akan ciptakan suasana sunyi sepemakan sirih pula. Kau musti bisa menulikan telinga
di saat ada suara namun juga musti bisa menemukan suara sekecil dan sehalus apa pun di saat
sunyi."
"Baik, Ki…"
"Latihan itu akan berlangsung empat-puluh malam lamanya."
"Ba…baik, Aki …" kata Ginggi kembali melangkah.
"Diam dulu."
"Ya. Aki…"
"Setamat latihan ini kau akan merangkak ke tahap selanjutnya."
"Apakah itu, Aki?"
"Kau musti bersila di sebuah ruangan tertutup tak ada cahaya, kecuali cahaya lantera."
"Baik, Aki."
"Dan latihan empat puluh malam empat puluh hari!"
"Ba…baik, Aki…" Ginggi menghela napas pelan namun tertangkap oleh telinga gurunya.
"Kau mengeluh?"
"Tidak, Aki…"
"Bohong bukan sikapmu. Kalau kau mengeluh, mengeluh kalau kau tidak, tidak."
"Aku mengeluh, Aki."
"Lantas, bagaimana tentang latihan ini?" Ki Darma menoleh ke belakang.
"Mengeluh bukan berarti tak akan melaksanakan tugas, Ki…" sahut Ginggi.
"Tapi akan lebih baik melakukan tugas tanpa keluhan," potong gurunya.
Ginggi mengangguk.(bersambung)                

Pengen tau kelanjutannya?....
Ikuti terus Radio80an yaa..
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : Senja Jatuh Di Pajajaran
Ditulis Oleh: Unknown
jika ada bagian yg di copy atau dishare

Senja Jatuh Di Pajajaran

Harap menyertakan link ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar